UA-83233104-1

Sunday 19 May 2013

Sebagai Wanita Apa Kamu Merasa Lemah?

By Bunda Sugi

Siang tadi, ada seorang ibu curhat kepadaku. Tidak seperti biasanya, kali ini dia datang seorang diri. Dengan wajah kusut, tanpa kupersilahkan duduk, ia sudah mengambil posisi santai di kursi ruamg tamu. Dalam haati aku bertanya-tanya, ada apa dengan dirinya? sepertinya sedang menghadapi permasalahan berat.

Belum sempat kubertanya, ibu tersebut mulai berkata dengan nada kesal.

"Aku jengkel sama suami. Coba bayangkan mbak, Aku cuma sebagai tambal butuh!"
Aku kaget mengapa ia berkata demikian. Kulihat matanya mulai basah oleh air mata.




"Aku nggak pernah diberi gaji. Aku nggak pernah merasakan gajinya. Semua kebutuhan harus aku yang nyari"

"Duh, tega banget suaminya" gerutuku dalam hati.

"Aku suetressss mbak. Suami nggak mau tau. Rumah berantakan. Anak-anak sulit dikasih tau. Belum ngasuh sana, ngasuh sini. anak nggak mau makan. Pusing aku."

"Ya sudah, jalan-jalan sana! Cari hiburan. Biar pengeluaran nggak banyak ya jangan belanja-belanja. Pergi ke suatu tempat, ke pantai atau ke Suramadu. Trus cari tempat yang enak buat santai. Gelar tikar, duduk-duduk sambil makan. Gurauan sama anak-anak." usulku seperti yang biasanya aku lakukan.

"Iya kalau suami mbak. Masak mau suamiku seperti itu. Diajak jalan-jalan. Pasti bilangnya, capek. Ngapain jalan-jalan ngabisin uang."

"Ya caranya. Kalau ngajak supaya suami mau memenuhi, ambil hatinya. Rayu, supaya hatinya lunak." usulku lagi.

"Halah mbak. kayak nggak tau suamiku aja. Dia itu lho orangnya keras. Nggak pernah menyenangkan hati perempuan. Maksudku, berikan aku sedikit saja tempat. Nggak usah banyak-banyak."

Taukah teman, apa maksud perkataannya? Sejatinya wanita itu ingin dimengerti. Ia akan menjadi bersemangat jika ada yang mensuportnya. Ia akan menjadi kuat jika ada yang mendampinginya. ia akan menjadi super wonder women, meski capek, tidak mengeluh. Meski sedih, tidak menangis. Akan tetap tegar, dan semangat hanya dengan dimengerti. Bagaimana caranya? Wah, bapak-bapak kayaknya mesti baca ini deh!

COBA PERHATIKAN.

 Saat kita sibuk memasak di dapur, anak-anak dan suami asyik berguarau di ruang tengah sambil menonton TV. Adakalanya seorang ibu akan tidak mempedulikan kondisi ini, karena menganggap ini sudah menjadi kodratnya para ibu untuk di dapur. Dan tentunya segala beban akan dirasakannya sendiri.

TAPI COBA BANDINGKAN.

Seandainya saat kita sibuk di dapur, lalu suami mendekati kita dan berkata, "Lagi masak apa Ma? Kasihan Mama kayaknya capek. Perlu dibantu ta?" ATAU "Ma, maaf ya aku gak bisa bantu di dapur. Tentunya Mama capek banget. Apa perlu makan di luar ta? Biar sekali-kali mama refereshing.

Pada kondisi pertama.

Tampak suami dan anak-anak seakan tidak peduli. Dan istri dengan segala kemampuannya harus mampu menyuguhkan segala sesuatu yang menjadi kbutuhan keluarga.

Sedangkan pada kondisi ke dua.

 Mungkin  apa yang dilakukan suami tersebut hanya sekedar basa-basi. Menawarkan bantuan. Bisa iya, bisa saja tidak benar-benar membantu. Akan tetapi, kalimat tersebut akan mampu memberikan suplemen energi bagi istri. Ia tidak merasa sibuk sendiri. Dengan sendirinya akan mampu menghilangkan rasa capek. Apalagi jika anak-anak turut berkata, "Sini Ma, biar aku yang mabilkan piringnya". Anak yang lainnya, "Aku yang ambilkan sendoknya"

Apakah tergolong berat pekerjaan yang dilakukan oleh anak seperti itu? Tidak. Mengambil piring, mengambil sendok, adalah bukan pekerjaan berat. Anak-anak yang masih duduk dibangku TK-pun bisa melakukannya. Pantaskah anak-anak dibebankan sebagian yang menjadi tugas kita? Tunggu dulu. Ini bukan beban. Perlu anda tau. Melakukan hal kecil seperti ini bagi anak-anak juga merupakan sebuah hiburan. Ini bisa menjadi ajang permainan sekaligus belajar. Ketika beban belajar dan kegiatan anak padat, melakukan hal seperti ini akan terasa sangat mengasyikkan baginya. Ah, masak? Anakku mana mau melakukan itu? Mau. Pasti mau. Cari dulu tipsnya. ....

Nah caranya yang harus benar-benar diperhatikan adalah jangan menyuruhnya untuk melakukan ini. itu, akan tetapi dengan mengajak. Jika menyuruh berarti membebani. namun jika mengajak, berarti menghiburnya.

Ok kita lanjut cerita ibu tadi.
"Aku sebetulnya muales mbak punya anak lagi. Jadinya ya seperti ini. Aku pingin sekali pergi jauuuhhh. Aku tak kerja yang jauuuuh." si ibu tidak melanjutkan perkatannya, karena sesenggukan.

Aku tersenyum. Berusaha menenangkan.

 "Bu coba ungkapkan pada suami apapun yang ibu rasakan. Tapi ingat jangan dengan nada protes. Jangan menyalahkan suami. Tapi coba cara ibu bercerita seperti sekarang ini. Ibu bukan dengan nada marah, akan tetapi nada curhat."

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, seorang anak laki-laki menggendong bayi yang sedang menangis datang. Dia adalah kakak dari sang bayi. ibu tersebut memiliki tiga orang anak.
Segera sang ibu menggantikan menggendongnya dan pamitan pulang.

Tahukah anda mengapa ibu tersebut tampak begitu tersiksanya? Bukan hanya ibu tersebut yang mengalaminya. Akan tetapi siapa saja bisa mengalami kondisi seperti ini. Saya, dan mungkin juga anda. Suatu kondisi yang sangat menekan, dimana seseorang serasa tidak mampu menghadapinya dan bersamaan dengan keadaan tersebut ada hal lain yang turut membebani pikiran maupun tanggung jawab seorang ibu. Dari permasalahan ibu di atas, yang tampak adalah: seorang ibu harus mengerjakan tugas-tugas rumah yang tidak ada selesainya. Ke dua, kondisi keuangan yang kurang memuaskan. Ke tiga, anaknya yang masih bayi tidak mau makan.

Insyaallah bersambung,

9 comments:

  1. Hi mbak, salam kenal :)

    Lihat ilustrasi memasak yang mba tulis itu, kalau di rumahku begini...

    Kalau aku memasak, sesekali saat masakanku bisa ditinggal sebentar (ga nyampe 1 menit) aku datangin suamiku di kamar/ruang tengah (rumah kami ga besar, sih), terus ngobrol bentar. Sekedar nanya, "Nonton apa tuh? Gimana ceritanya?" terus langsung ngeluyur buat masak lagi. Kadang kalau aku terlalu asik di dapur, suami yang nyariin. Sekedar nanya aja, "Masak apa? Wah, ditambahin ini-itu enak tuh."

    Yah, begitulah. Tapi kami belum punya anak, jadi belum merasa rempongnya setelah punya anak nanti. Sebisa mungkin tetap dijaga deh kebiasaan-kebiasaan seperti ini. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo juga mbak, salam kenal balik,

      Kebiasaan bagus itu mbak, mudah2an bisa bertahan, meski sudaah memiliki banyak anak.

      Salam

      Delete
  2. Perempuan memang tak ada duanya, multitasking. Setuju dengan Bunda Sugi, harus dibicarakan dengan suaminya, karena bisa jadi sumber pertengkaran kalau ditahan-tahan.

    ReplyDelete
  3. yes, betul bunda. Emang segalanya mesti saling terbuka. biar gak ada ganjalan. Makasih bunda udah berkunjung.
    Salam

    ReplyDelete
  4. hmmm, iya, kasihan juga. makany sejujurnya dari lubuk hati paling dalam, aku punya usul, adain sekolah "Berumah Tangga". dan yg ikut harus dua pihak, istri dan suami. Dan itu wajib sebelum daftar di KUA. ehe... masuk akal nggak sih, Kemudian harus diperbarui lagi sertifikatnya setahun sekali, kalau nggak... kena denda. Terlalu jauh ya.... udah nyangkut sistem nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh maksudnya calon suami istri sebelum daftar di KUA

      Delete
    2. Hehe..... usul yang keren. Iya mbak Ella. Kepikir juga ide kayak gitu. Sekolah pranikah. Tapi semua kembali lagi pada pribadi masing-masing. Meski telah diadakan sekolahpun belum tentu dipraktekkan. Kalo menurutku komitmen keduabelah pihak itu penting. Mau dibuat model seperti apa rumah tangganya. Ya.. tentunya melalui komunikasi ...... karena hanya ini yang akan menjembatani untuk keduanya bisa merasa saling dimengerti.

      Delete
  5. Komunikasi itu sangat penting ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul sekali. Dengan komunikasi maka masing2 pihak saling memahami apa yang diinginkan pasangannya.

      Delete

Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.