UA-83233104-1

Monday 3 September 2018

Gontor 1, Tak Hanya Anak yang Mondok

Pembukaan Ujian Tulis Semester Pertama oleh Bapak Pimpinan dan Bapak Direktur KMI. Sumber: Instagram. Akun resmi Gontor

Tak Hanya Anak yang Mondok, Orang Tua Juga

Sudah menginjak tahun ke 4, anak saya mondok di Gontor 1. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sebagai seorang ibu saya sudah lebih bisa menahan gimana berjauhan dengan anak. Kalau dulu saya pinginnya setiap bulan ke sana. Apalagi ditahun-tahun pertama, nyaris saya ke sana 1 atau 2 minggu sekali. Luar biasa....


Dari segi waktu jelas banyak yang harus dikorbankan. Apalagi ketika itu 2 adiknya masih kecil-kecil, malah yang bungsu belum sekolah. Dan kami selalu ke sana berempat. Saya suami dan kedua adiknya. Selain waktu, juga tentunya cost akan keluar lebih banyak lagi.

Belum lagi kasus barang-barang yang hilang, dimana saya harus bersiap-siap untuk membelikan lagi yang baru. Sepatu, celana, kemeja, dll.

Menyesalkah?

Tidak.

Soal barang yang hilang. Awalnya saya sempat jengkel. Karena pengeluaran menjadi tidak terkendali dengan adanya barang-barang hilang yang tak masuk dalam perhitungan anggaran belanja negara, hehe .... Tapi karena kehilangan itu sendiri juga nggak bisa diprediksi, dan saya juga sempat berpesan, mewanti-wanti anak saya untuk menjaga barangnya jangan sampai hilang lagi, namun kenyataannya tetap saja hilang. Mulai, bantal, seprei, celana, sepatu, gayung, piring, sampai uang juga pernah hilang.

Pondok kok banyak barang hilang? Gimana sich akhlak para santrinya? Gimana sich pengamanan dalam pondok terhdap santri?

Tunggu dulu ... jangan langsung menjudge bahwa barang hilang itu karena dicuri. Hilang di tempat yang terdapat ribuan orang, sangat memungkinkan barang tertukar atau si pemilik tidak bisa menemukan barangnya. Contoh sepatu. Saat mau masuk masjid diletakkan rapi sepasang ditempat yang mudah diingat. Lalu ditinggal shalat.

Ada kejadian yang sangat mungkin sering terjadi di pondok.
Saat santri semua shalat, kejadian di luar masjid adalah: ada santri yang atang terlambat. Karena ia takut kena hukuman, maka ia jalan setengah berlari. Dan karena ia agak tergopoh-gopoh, iapun harus melewati beberapa sepatu, dan menginjaknya, bahkan ada sebagian sepatu yang terlempar karena kakinya secara tak sengaja mendorongnya. Beberapa sepatu lain juga sudah agak acak-acakan karena saat ia berlari kakinya mendarat diatasnya dengan asal berpijak.

Waktu shalat usai. Semua santri antri untuk keluar masjid dan mengambil sepatu untuk dikenakan kembali. Semua harus berjalan tepat waktu, karena jam makan siang sudah menunggu, sementara setelah itu harus segera masuk kelas untuk belajar pelajaran selanjutnya.

Beberapa santri tak lagi menemukan sepatunya ditempatnya. Ada juga yang kehilangan sebelah saja. Ia kebingungan. Gimana jika sepatunya hilang? Dan ia harus segera masuk kelas? Tak mungkin ia ke kelas tanpa sepatu. Hal yang mungkin ia lakukan untuk menemukan sepatunya kembali adalah menunggu semua santri pergi, maka akan ada sepatu yang hanya sebelah tertinggal. dan itu sudah pasti miliknya. Tapi, apakah hal itu mungkin dilakukan? Jelas tidak. Karena jika menunggu, ia harus kehilangan jam makan siang, dan kemungkinan juga terlambat masuk kelas.

Dengan merasa bersalah, iapun mengambil sepatu yang pas untuknya. Dalam hati ia berkata. "Nanti jika kulihat sepatuku kembali, maka aku akan mengembalikannya. "Aku tak mencuri, tapi pinjam sementara waktu". "Maafkan aku kawan ... Semoga kau bisa menemukan sepatuku dan mengenakannya. Dan kita sama-sama tak terlambat di kelas". Lalu iapun bergegas meninggalkan masjid untuk makan siang. Dengan rasa bersalah yang ditahan.

Saya tak menyalahkan mereka. Tentang keputusan-keputusan yang kadang terkesan konyol bagi yang tak mengalaminya. Tapi kembali lagi sebagai orang tua, kita harus tetap menghargai setiap keputusan yang sebetulnya terpaksa harus ia ambil, meski dengan rasa terpaksa dan bersalah berkepanjangan.

Saya yakin, Tak satupun orang tua yang menganjurkan anaknya berbuat demikian. Tapi itulah kenyatannya. Yang memungkinkan ia akan melakukan sesuatu hal yang ia sendiri tak menghendakinya.

Dari hal-hal seperti ini saya belajar, dan mencoba memahami kehidupan anak saya di pondok.

Jadi tak lagi saya marah atau jengkel tentang barang yang hilang. Saya yakin anak-anak juga merasa jengkel dan kecewa ketik ada barangnya yang hilang. Jelas ia butuh support dari kita. Ia butuh kita sebagai orang tua untuk menghiburnya.

Jika ia terus-terusan kita marahi soal barang-barang yang hilang, bisa kita tebak. Betapa bertambah beratnya beban mereka. Bisa jadi saat ia harus menggantikan sepatu yang hilang bukan dengan rasa bersalah ketika mengambil sepatu lain di sebelahnya. Tapi merasa lega, dan puas, karena tak lagi membuat orang tuanya marah oleh karena sepatu hilang. Justru ini sangat berbahaya tentang perkembangan akhlaknya. Naudzubillah ....

Menghadapi tentang kehilangan ini, Maka pesan, akhirnya saya sampaikan pada diri saya sendiri, "Boleh mengharap, tapi apa yang terjadi tetap kuasa Allah". Deal ... "Kuasa Allah". Mau tidak mau kita harus percaya ini. Coba bayangkan, ada ribuan santri. Dan ternyata ada juga yang nggak kehilangan. Kenapa? Jelas ini tak lain karena kuasa Allah. Bukan karena anak bisa menjaga barang atau tidak. Contohnya kemeja. Saat akan masuk sekolah semua santri meninggalkannya di jemuran setelah dicuci. Artinya tentang kehilangan, semua memiliki potensi yang sama untuk bisa hilang. Dan bukan berarti mereka yang nggak hilang akan selalu membawa-bawa terus barangnya... karena jelas tidak mungkin.

Ini bisa dibilang pelajaran dasar bagi orang tua. Khususnya sebagai pengingat buat saya sendiri.
Kita nggak tahu, apakah rejeki atau uang yang kita terima sepenuhnya milik kita? Belum tentu. Bisa jadi kita hanya memilikinya sebagian saja. Sementara sebagian yang lainnya adalah titipan yang harus kita keluarkan. Nah, dari sini, bisa jadi kita yang lupa atau belum sempat menyerahkannya. Maka, sangat memungkinkan sekali Allah mengambilnya kembali yang bukan menjadi hak kita dengan cara yang tak kita ketahui.

Pelajaran kedua adalah, ujian kesabaran kita. Kesabaran yang juga keikhlasan.

Kalau kita sabar, tentunya kita juga ikhlas, bahwa semua yang kita miliki adalah hanya titipanNya. Yang namanya titipan berarti kita tak punya hak atas kepemilikan. Dan maknanya, kita tetap ikhlas dan tak ada rasa dongkol ketika barang tersebut harus menjauh dari kita.

Ok itu saja sharing saya. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.

Sidoarjo, 2 September 2018
Saat menjenguk kakak Davesh di Pondok.

Gedung baru Satelit

Sarapan bersama kakak. Tinggal adik yang belum.

Sebelum makan bikin kenangan dulu

Bawa bekal dari rumah: rendang (kiriman kakak dari Padang), empal daging, ikan tengiri panggang, tahu goreng, sambal ijo (dari mbak Pur), nasinya beli di kantin.

Pembangunan gedung satelit yang masih berlanjut

Habis shalat subuh, nemani kakak belajar karena hari ini, hari ke 2 ulangan

Malam hingga jam 22.30, nungguin kakak yang habis belajar malam.

Jalan-jalan ke dalam, melewati gedung Syiria.

Site plan gedung satelit. Dari depan.

Jalan-jalan melewati lapangan dan gedung Al azhar. Menjelang maghrib.

Selfi dulu di depan gedung Al ighart

Suka dengan menara ini, jadi teringat Jam Gadang di Padang, hehe ...

Di depan Gedung Saudi. Tempat kakak dulu waktu masih kelas 2.

Mengamati santri yang mau ke masjid untuk shalat maghrib. Terlihat rapi ...

Ayooo ... sepetan mas, nanti terlambat shalatnya ..

Semua santri sudah siap ke masjid

Di gedung satelit. Meski mau makan mereka masih sempatin baca buku. "Iya soalnya lagi ulangan". Semoga sukses ya ...

Saat menunggu kakak yang nggak kunjung datang. Ternyata kakaknya sedang menyelesaikan konsekwensi. haha ... tetap semangat ya kak!

Kakak sudah balik lagi, karena harus segera masuk kelas. Good Luck ya kak...!


Terimakasih!

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.