Friday 22 November 2013
Rasa Tidak Tega Itu Merugikanku, Tapi Aku Bersyukur Memiliki Rasa itu
Mungkin semua orang memiliki rasa tidak tega saat menghadapi suatu keadaan atau kejadian yang menimbulkan kecewa orang lain, atau menyakiti hati orang lain. Atau bahkan hanya sekedar karena rasa sungkan, tidak nyaman, dan sejumlah perasaan tidak enak yang lain. Sesuatu yang seharusnya ditolak atau dihindari, dalam arti bisa tidak dilakukan, namun oleh karena rasa tersebut, akhirnya menjadi suatu keharusan atau terpaksa melakukannya.
Namun derajat ketidak tegaan itu kenyataannya setiap individu berbeda.
Contohnya saya. Entah seberapa besar derajatnya. Saya seringkali melakukan sesuatu hal yang sebenarnya tidak ingin saya lakukan atau bahkan kadang justru merugikan diri sendiri. Namun karena adanya rasa tidak tega tersebut akhirnya saya tetap melakukannya.
Contohnya pada suatu kejadian, yang selalu merugikan saya.
Ada orang yang meminjam barang atau uang ke saya. Saya mau memberikannya karena saya tahu dia sangat butuh. Dan saya mengesampingkan, sebuah praduga "bagaimana kalau dia tidak membayar?". Meski sejarahnya ia terkenal banyak pinjaman.
Waktu terus berjalan, dan barang/ uang telah berpindah tangan. Ternyata benar. Orang tersebut tidak kunjung membayar. Setiap saya tagih selalu bilang tidak punya uang. Satu bulan, hingga tahun. dan berganti tahun lagi. Dari dia belum hamil, sampai hamil, melahirkan, hingga anaknya kini berusia 5 tahun. Sampai akhirnya saya bilang padanya, "Cicilah! bayarlah semampumu!". "Barapapun, saya nggak apa2". Benar, akhirnya orangnya mau mencicil. Apakah dengan suka rela ia membayarnya? Ya, itu yang selalu saya tunggu.
Setiap bulan saya datangi rumahnya, dan saya tanya. "Mbak sudah ada".
"Belum Bu, maaf" jawabnya. Saya pulang.
Bulan berikutnya juga begitu. Berikutnya. Dan Berikutnya lagi. Dan tidak selalu ia bayar. Kadang2 ia kasih ke saya dengan jumlah, persiiis kayak orang minta2. Apakah saya marah? Apakah saya tersinggung?
Seharusnya iya. Tapi Alhamdulillah saya bisa menerimanya dengan lapang dada. Saya selalu positif thinking terhadapnya, "Mungkin kemampuannya membayar cuma segitu". Itu terjadi terussss... dan terusss. hingga sudah berjalan 5 tahun. Padahal jika dia mau dengan membayar Rp 1000,- saja perhari. dalam waktu satu tahun sudah lunas. Tapi, mengapa ia tidak melakukannya? Saya sering bertnya pada diri sendiri. Apa dia sengaja tidak membayar?. Atau benar-benar tidak punya uang? Sebenarnya saya sedikit kesal, capek nagih, dan kadang terbersit untuk mengiklaskannya. Tapi mau gimana lagi saya juga butuh. Dan karena uang nyantol tersebut saya harus gali lubang tutup lubang. Setiap akhir bulan saya harus mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan.
Ohya, satu hal lagi, saya di rumah juga usaha dagang. Mulai baju muslim, jilbab, mukena, peralatan rumah tangga (tuppwr), kosmetik, pensil, minuman kemasan, susu, pokoknya apapun bisa saya jual. Hingga kakak bilang, "Apapun yang kamu pegang kok bisa jadi uang.". Haha.. Alhamdulillah Allah memberikan saya kemudahan. Dan Subhanallah, saya selalu mendapatkan suplayer yang bisa konsinyasi, alias bayar jika barang laku. Hoho jika tidak, mana mungkin saya bisa berdagang aneka barang sebanyak itu. Memang barang tidak semua langsung ada sih. Itu semua datang bergantian. Ya kayak udah ada yang ngatur gitu deh. Bergiliran.
Berdagang. Mengapa saya melakukannya? Tidak sekedar berburu uang. Saya juga ingin suatu hiburan. Bentuk hiburan yang saya inginkan bukan mengeluarkan uang, akan tetapi mendatangkan uang. lho kok bisa berdagang adalah hiburan?
Begini. Kalau saya tidak melakukan kegiatan apapun selain mengurusi job desk rumah tangga, dan hanya berkecimpung dengan anak2. Mana mungkin ada orang datang mencari saya.
Nah dengan berdagang, saya memiliki pelanggan, dan mereka akan datang mencari saya. Yang terjadi tidak hanya sekedar transaksi jual beli, akan tetapi kami menjadi bersahabat dan lebih akrab. Saling sharing, problem solving, hingga decision making. Nah, dari sini semua kemudahan terbuka. mereka yang sudah berlangganan hampir tidak pernah menolak pada setiap barang yang saya tawarkan, tidak terkecuali krupuk, dan sabun cuci. Haha... melenceng jauh ya, masak dari fashion, kosmetik, larinya menjadi sembako, hingga kebutuhan sehari2. Naah, itulah akhirnya saya berpikir bahwa apapun sebenarnya bisa kita jual. Tergantung dari bagaimana cara kita menawarkannya.
Ok, kembali kita membahas tentang rasa tidak tega.
Rasa tidak tega yang saya miliki terkesan saya mudah sekali dibodohi orang. Orang akan dengan mudah mengambil barang saya, dan barang belum lunaspun mereka bisa mengambilnya lagi barang lain. Lho kok bisa? Yaitu adanya rasa tidak tega. Tidak tega menolak disaat orang lain butuh. Tidak tega melihat orang lain susah. Padahal saya juga susah, haha.... tidak tega melihat orang lain mengecewakan anaknya. Ini terjadi pada orang yang pernah mengambil baju ke saya buat lebaran anaknya. Sementara ia masih punya pinjaman di saya yg belum terbayar. Kok di kasih sih, harusnya khan biat lunas dulu?
Sekali lagi tidak tega. Kalau saya tidak ngasih. Mana mungkin ia mendapatkan pinjaman baju baru untuk anaknya? Halah sok jadi pahlawan ya saya?
Tapi ya itulah keadaannya. Meski demikian saya sangat bersyukur diberikan rasa itu. Setidaknya, meski sering merugikan, saya takin Allah akan memberikan saya kemudahan dalam hal lain. Aminn. Demikianlah sharing saya kali ini, semmoga bermanfaat. Yang mau komentar silahkan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.