UA-83233104-1

Wednesday 22 June 2016

Terlalu Sayang Pada Anak, Berpengaruh Pada Kemandirian

Terlalu Sayang

Davesh adalah anak pertamaku. Laki-laki, umurnya 7 tahun. Sedangkan anak kedua perempuan bernama Jeza, baru 2,5 tahun. Terhadap keduanya aku selalu berusaha berlaku adil dalam segala hal. Termasuk dalam memberikan perhatian dan kasih sayang. Jika Davesh dibelikan baju Jezapun demikian. Dan sebaliknya. Jika Jeza dibelikan mainan maka sang kakak juga dibelikan, tetapi bukan mainan mengingat ia sekarang sudah bukan anak kecil lagi, melainkan sesuatu yang menjadi kegemarannya yaitu buku.

Suatu kebahagiaan yang tiada bandingannya manakala bisa bersama dengan mereka. Alasan itu pula aku memutuskan berhenti bekerja ketika melahirkan anak pertamaku. Bagiku pendidikan anak-anak lebih berharga dibandingkan dengan uang maupun kedudukan. Aku ingin lebih maksimal dalam mendidiknya. Pendeknya tak sedetikpun waktu yang aku biarkan percuma untuk melakukan sesuatu yang tidak berarti terhadap anakku. Membimbingnya belajar tentang sesuatu hal sangat diperlukan
sejak dini, itulah pemikiranku.

Sengaja aku tidak mengambil pembantu. Tujuanku agar semua kebutuhan anak, aku yang memenuhinya. Aku ingin menjadi orangtua sekaligus guru bagi anak-anakku. Sambil memasak memperkenalkannya pada barang-barang yang mereka lihat di dapur. Ketika aku menyuapi tak ketinggalan aku bimbing Jeza untuk mau menggambar atau mewarna. Ada dua keuntungan yang kuperoleh, Jeza makannya lebih lahap, pun ia sangat antusias menikmati hasil coretannya di kertas yang aku sediakan. Juga ketika minum susu kadang sambil tiduran ia aku bacakan sebuah buku cerita. Suatu prestasi bagiku karena ketika usianya menginjak 2 tahun ia sudah bisa menyebutkan warna-warna. Juga ketika aku tanyakan dalam bahasa Inggris, iapun menyebutkan warna dalam bahasa Inggris.

Jeza tumbuh menjadi anak yang periang, lincah, tangkas, mandiri, serta pemberani. Iapun aktif menanyakan segala sesuatu yang ia belum tahu. Penyesuaian dirinya dengan lingkungan sosialpun sangat bagus. Ia mampu beradaptasi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam bermainpun dapat berbagi dengan teman-temannya. Jeza bisa bertahan cukup lama bermain dengan teman-temannya tanpa ku tunggui.

Jeza berbeda dengan Davesh. Justru anak pertamaku agak pemalu. Dalam penyesuaian dirinya terhadap lingkungan sosialpun Davesh memiliki perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan adiknya. Davesh terlihat sedikit minder jika berhadapan dengan orang yang belum dikenalnya. Bahkan untuk menanyakan sesuatupun ia tidak berani. Ia tampak kurang bisa mandiri. Suatu sikap yang seharusnya mulai muncul pada anak–anak seusianya. Seperti mandi sendiri, merapikan buku serta alat tulisnya, serta merawat barang-barang miliknya.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut ada sikap maupun perilakunya yang menurutku kurang. Misalnya. Devish tidak berani naik tangga. Juga dalam menulis, mewarna serta menggambar. Semuanya dilakukan asal-asalan, yang hasilnya jauh dikatakan bagus. Pun terhadap barang-barang miliknya, ia sangat ceroboh. Tidak ada perhatian sedikitpun. Oleh karena sikapnya tersebut Davesh sering kehilangan barang-barangnya. Topi serta dasi sering hilang, topi yang dibelinya hari senin, hari selasa sudah tidak tau kemana ia letakkan. Juga kaos kaki. Seringkali ketika pulang ia hanya membawa satu kaos kaki yang ia kantongi.

Mengapa kemampuan Davesh dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya kurang dibanding Jeza? Mengapa ia pemalu, kurang memiliki keberanian serta sedikit minder? Kesalahan terletak pada diri saya. Memang dalam mendidiknya ada yang berbeda perlakuan antara Davesh dan Jeza. Davesh yang terlahir lebih dulu menimbulkan rasa sayang yang agak berlebihan terhadapnya. Dimana dalam masa itu adalah suatu masa transisi saya dari seorang single yang akhirnya menjadi  seorang ibu. Ada rasa kawatir, takut, bingung dan masih banyak lagi perasaan yang menimbulkan keragu-raguan dalam mendidiknya.

Di awal batitanya, aku cenderung melarangnya untuk melakukan hal-hal yang menurutku membahayakannya. Seperti ketika ia akan naik ke kursi atau memanjat-manjat rak almari, atau naik meja, atau apapun yang berkaitan ketinggian, aku dengan keras melarangnya. Aku sangat mengkawatirkannya. Aku tidak ingin ia terjatuh, terluka, berdarah dan sebagainya. Demikian pula ketika ia ingin main keluar rumah. Aku lebih senang ia bermain di dalam rumah. Kecuali bersama denganku. Aku kawatir kalau terjadi apa-apa pada dirinya bila bermain di luar rumah. Misal bertengkar dengan teman, atau main yang jauh, nanti jangan-jangan diculik orang, dan sebagainya. Seperti yang marak diberitakan di beberapa stasiun televisi, begitu pikiranku ketika itu.

Dari kebiasaan-kebiasann yang terlalu melindunginya tersebut berdampak pada perkembangan emosi-sosialnya yang terhambat. Sikap overprotesi yang kulakukan terhadapnya berdampak kurang bagus terhadap perkembangan pribadinya. Aku menyesal. Ternyata tidak selamanya ekspresi rasa sayang dapat membahagiakan sang anak, kecuali dilakukan dengan benar.


oOo

Melihat perkembangan anak pertamaku aku merasa bersalah, karena telah menghambat proses pembelajarannya dalam hal bersosialisasi. Berbagai cara aku lakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam perkembangan sikap maupun sifatnya.

Aku menghambat tahapan perkembangan sosialnya. Aku melewatkan masa terpentingnya. Seperti dalam tahapan perkembangan sosial yang dikemukakan oleh Hurlock: pada usia 2-3 tahun (Bermain asosiatif) seorang anak memiliki minat yang besar dalam bersosialisasi dengan anak-anak lain, serta keinginan melakukan kontak sosial dengan mereka. Perkembangan berikutnya adalah bermain kooperatif, dimana anak terlibat dalam kegiatan bermain dengan anak-anak lain, anggota kelompok dan saling berinteraksi.

Dalam penelitian longitudinal terhadap sejumlah anak, Waldrop dan Halverson (Hurlock: 119) menarik kesimpulan bahwa anak yang pada usia 2,5 tahun bersikap ramah dan aktif secara sosial akan terus bersikap seperti itu sampai usia 7,5 tahun. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika seorang anak mengalami interaksi yang kurang baik pada usia 2 atau 2,5 tahun, maka sampai usia di atas 7 tahunpun anak tersebut juga akan mengalami kesulitan dalam hal penyesuaian diri secara sosial.

Mengubah atau memperbaiki sikap maupun sifatnya tidaklah mudah. Butuh waktu yang relatif tidak pendek, karena mengubah itu sama halnya merubah kepribadiannya. Kepribadian terbentuk dari rangkaian kebiasaan. Dan mengubah kebiasaan perlu latihan yang berulang-ulang agar kebiasaan yang ingin kita ubah tersebut tidak muncul lagi. Treatment aku mulai dari melatihnya menggambar, mewarnai dan menulis. Ketiga hal tersebut akan dapat membangun struktur kepribadiannya, termasuk  sikap maupun kebiasaannya.

Teorinya saya mengacu pada tehnik proyeksi yang dipakai dalam tes grafis. Dalam pelaksanaannya sering disebut sebagai tehnik ekspresif. mengacu pada Psikoanalisa dan psikodinamik. Dimana kepribadian seseorang akan terproyeksi dalam goresan penanya.

Disamping hal tersebut beberapa treatment juga saya berikan guna menstimulasi keberaniannya serta percaya dirinya. Seperti: mengajaknya ikut terlibat dalam pertemuan keluarga. Mengikut sertakan les karate. Karena les tersebut disamping melatih keberanian juga melatih kedisiplinan.

Setelah beberapa kali latihan, Davesh menunjukkan perkembangan yang berarti. Sikap mindernya mulai berkurang. Ia menjadi lebih berani. Ini terbukti dari prestasi yang diperolehnya, beberapa kali ia memenangkan lomba baca puisi yang diadakan di sekolahnya. Tulisannyapun juga semakin bagus. Kini ia mulai rajin menggambar dan memberi warna hasil gambarannya. Suatu perubahan sikap yang bagus. Dimana sikap tersebut dilandasi emosi dan bentuk tanggung jawab. Davesh yang semula asal-asalan dalam menulis maupun menggambar, kini seolah memiliki kesabaran untuk melakukannya dengan lebih baik dan hati-hati, sehingga yang semula tulisannya tergolong kurang bagus menjadi bagus dan mudah untuk dibaca. Rasa tanggung jawabpun mulai muncul, seperti merawat atau memelihara barang-barang miliknya.

Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freut, kepribadian terdiri dari tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian tersebut adalah: id, ego dan superego. Ketiganya bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks.


  1. Id. Adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Terletak dalam ambang kesadaran. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Seseorang akan melakukan segala sesuatu untuk memuaskan keinginannya.
  2. Ego. Adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani segala sesuatu berdasarkan realitas. Ego merupakan pengembangan dari id, berfungsi untuk memastikan bahwa dorongan dari id yang keluar melalui perilaku dapat diterima didunia nyata.
  3. Superego. Adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral. Internalisasi moral yang dipakai biasanya bersumber dari orangtua dan masyarakat. Superego bekerja berdasarkan prinsip baik atau buruk, benar atau salah. Segala sesuatu akan dilakukan setelah melalui pertimbangan superego tentang baik atau buruk sikap tersebut dilakukan. 


Dalam bertindak sebaiknya seseorang menempatkan ketiga elemen tersebut secara seimbang. Seorang anak yang kurang menggunakan superegonya maka cenderung bertindak semaunya sendiri. Tidak memperdulikan akan baik atau buruk. Oleh karena anak-anak cenderung mengedepankan ego, peran kita sebagai orangtua ialah mengarahkannya dengan memperkenalkan pada nilai-nilai moral itu sendiri. Sehingga ia akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, bertanggungjawab, disiplin, serta akan sukses dalam penyesuaian dirinya secara sosial.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

2 comments:

  1. wow.like this bunda! aku membacanya hingga akhir dan waw. meskipun aku tidak tahu persis dan kurang baca, apa yang bunda sugi utarakan semua itu ada dalam pikiran dan program pengasuhan anak. Yah, semestinya begitu!

    Makasih ya bunda sugi! informasi ini sangat manfaat buatku.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.